21 Desember 2007

Menata Kota dengan Pikiran Terbuka

Kritik Atas Pandangan Saini KM
Menata Kota dengan Pikiran Terbuka

Oleh HAWE SETIAWAN

KANG Saini yang bijak bestari telah membuka diskusi. Di ruangan ini, 19 Januari lalu, ia menulis "Kota, Kota Mati, dan Kota Tertutup". Dengan itu ia menyumbangkan gugusan gagasan perihal masalah perkotaan. Oleh karena pokok bahasannya menyangkut hajat hidup orang banyak, perkenankan saya urun rembuk.

Jalan pikiran si empunya konsepsi cukup mudah diikuti. Pertama-tama ia mengemukakan gambaran kota yang dianggap ideal, berikut standar moralitas yang terkandung di dalamnya, dengan mengacu pada gambaran atau imajinasi mengenai kota-kota kuno pada zaman Yunani Klasik. Kemudian dari ketinggian konsepsi ideal tersebut, ia memandang ke bawah untuk mengidentifikasi masalah perkotaan dewasa ini, dengan mencemaskan kemungkinan menggejalanya "kota mati". Sebagai upaya mencari solusi, dalam arti mendekatkan situasi riil kepada gambaran ideal tadi, ia mengajukan usulan kebijakan mengenai "kota tertutup".

Mengikuti jalan pikiran seperti itu, dapat kiranya diajukan kritik yang terarah kepada sekurang-kurangnya tiga dasar pemikiran. Pertama, sejauh mana kita bisa menjamin relevansi dari pemandangan historis-filosofis mengenai kota kuno di Yunani dahulu kala dengan situasi perkotaan di Indonesia dewasa ini? Kedua, tidakkah kecemasan mengenai "kota mati" justru lebih banyak diakibatkan oleh kekeliruan yang terkandung di dalam pengandaian sosiologis yang menganggap kota sebagai realitas sosial seakan-akan sama dengan organisme biologis? Ketiga, tidakkah tendensi politis yang terkandung di dalam usulan mengenai "kota tertutup" justru malah tidak relevan dengan kecenderungan kota-kota di dunia dewasa ini sebagai ruang terbuka bagi keragaman budaya?

Baiklah kita periksa satu demi satu kelemahan yang terkandung dalam dasar-dasar pikiran Prof. Saini, dengan harapan dapat kiranya kritik berikut memperdalam sekaligus memperluas diskusi.

Rujukan tertutup

Pada tataran idealnya, Kang Saini berkiblat ke Barat, persisnya ke Eropa, dan berpaling ke masa silam yang sudah lama terbenam. Secara tersirat, ia membayangkan kota yang ideal sedikit banyak menyerupai kota kuno di Yunani Klasik (500 SM). Dibayangkannya benteng (atau garnisun, tentu) yang mengelilingi kota, untuk melindungi pasar, akademi, panggung kesenian, tempat pemujaan, kantor pemerintahan, dan sudah pasti rumah-rumah penduduk di dalamnya.

Kita tahu, orang Yunani, seperti halnya Kang Saini dan aparat polisi, sangat menekankan ketertiban dan keteraturan. Dalam hubungannya dengan kota, ukuran ketertiban dan keteraturan itu diwujudkan dalam undang-undang atau peraturan kota. Siapa menaati aturan dan mau hidup tertib, tentu dianggap beradab. Sebaliknya, siapa yang tak tertib atau hidup sembrono, apalagi jika mempersetankan filsafat dan kesenian, pasti dia disebut kaum "barbarian".

Seperti mengikuti gagasan dan impian para sarjana orientalis klasik, semisal Simon Ockley yang menulis History of the Saracens itu, Kang Saini secara malu-malu membandingkan gambaran keberadaban orang Yunani dengan "ketidakberadaban" orang Arab Islam di mata sarjana Barat -- meski ia pun menyadari arogansi yang tersembunyi di balik istilah "saracens" atau "barbarian" itu. Terkait ke situ, dapat kiranya diajukan pertanyaan, "Mengapa untuk menangani masalah perkotaan hari ini di 'Timur' sini, kita mesti mengambil rujukan atau referensi nun jauh ke belakang di Barat sana?"

Secara tidak langsung, Kang Saini sendiri telah mengedepankan alasan bahwa "kota-kota paling tua" -- yang dianggap ideal -- itu, yakni yang terdapat di Yunani Klasik itu, "kita kenal dalam sejarah dan secara tertulis relatif lengkap". Alasan demikian sebetulnya sangat goyah. Pasalnya, dari sejarah atau dari bahan tertulis yang tak kurang lengkapnya, kita sebetulnya dapat juga merujuk ke kota-kota di belahan bumi lainnya. Misalnya saja, pada dasawarsa 1950-an, para arkeolog telah menggali sejumlah lahan yang mengubur kota-kota kuno di India. Seperti dicatat oleh A.L. Basham, orang yang menulis buku klasik The Wonder that was India, dua ribu tahun sebelum orang Yunani menjarah tanah India, kota kuno Mohenjo Daro dan Harappa di India dikenal sebagai kota yang tak kalah rapi dan tak kalah tertib jika dibandingkan dengan kota-kota di Yunani.

Bahkan, sosiolog Max Weber yang dengan bagus sekali pernah merumuskan definisi atau ideal tipe mengenai apa itu kota, dan menulis buku The City, tidak cuma merujuk ke Yunani. Untuk memperdalam pemahamannya mengenai kota, Weber juga merujuk ke Rusia, Jerman, Roma, bahkan juga mengacu ke Mesir, Saudi, Cina, dan wilayah-wilayah lain di Asia. Hasilnya adalah definisi atau gambaran mengenai seluk-beluk kota yang benar-benar dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah oleh karena memang ditopang dengan referensi yang memadai.

Dengan begitu kiranya kita dapat menyadari bahwa terdapat cukup banyak referensi yang penting dan perlu kita rujuk untuk memperdalam dan memperluas pengertian kita mengenai masalah-masalah perkotaan. Belum lagi kita juga perlu dan penting mempertimbangkan secara serius kekhususan kondisi objektif di setiap tempat dan zaman yang berlainan.

Mengedepankan gagasan mengenai masalah perkotaan dengan hanya merujuk pada secuil bahan dari sejarah klasik -- apalagi jika gagasan itu membawa pretensi moral dan politis -- kiranya bukan hanya gegabah secara ilmiah, melainkan juga teledor secara moral. Kang Saini yang cerdik cendekia sungguh ada banyak dunia lain di luar Yunani, di atas hamparan bumi yang maha luas ini. Begitu pula konsep tentang moral dan peradaban dari waktu ke waktu terus dihadapkan pada tuntutan peninjauan kembali sejalan dengan perubahan zaman.

Sejarah tidak berhenti pada titik 500 tahun Sebelum Masehi. Sungguh, Kang Saini, betapa jauh jarak terbentang antara masa 500 tahun Sebelum Masehi dan tahun 2004 di lawang seketeng abad ke-21 ini.

Kecemasan berlebihan

Gambaran mengenai "kota mati" ciptaan Prof. Saini masih samar-samar bagai kabut dini hari. Hanya sambil lalu ia menyinggung-nyinggung "kota mati" seperti yang pernah dialami oleh Kota Miami di Amerika Serikat di tahun 1960-an. Ungkapan "yang pernah dialami" dalam hubungannya dengan kematian justru menyiratkan bahwa kematian itu tidak benar-benar terjadi. Lagi pula, memang, hingga hari ini Kota Miami masih tertera dalam peta dan masih bisa kita kenali penduduknya, tak terkecuali lewat layar televisi.

Dengan kata lain, konsep "kota mati" hanya menawan secara metaforis, tapi tidak meyakinkan secara sosiologis. Kelemahan konseptual tersebut, kalau kita bongkar secara radikal, jelas bersumber pada kekeliruan anggapan atau asumsi sosiologis yang melihat realitas sosial seakan-akan sama dengan organisme biologis. Padahal, sudah jelas bahwa kota sebagai realitas sosial bukan organisme biologis sehingga kota tidak sepenuhnya bisa dibandingkan dengan makhluk hidup.

Akan tetapi, begitulah, bahkan secara tersurat Kang Saini mengatakan bahwa "kota adalah suatu organisme" dan "kota menyerupai makhluk hidup". Oleh karena itu, makhluk hidup bisa mati, tatkala roh mengucapkan selamat tinggal kepada tubuh, kiranya bisalah dipahami sebab-musabab Prof. Saini sampai terjebak dalam imajinasi mengenai "kota mati".

Setiap mahasiswa S-1 yang pernah mengikuti kuliah pengantar filsafat sosial pasti mengetahui bahwa pandangan sosiologis seperti yang dianut oleh Prof. Saini lazim disebut "Organisisme". Di bidang sosiologi, Herbert Spencer kiranya adalah salah seorang penganut pandangan demikian. Organisisme pada hakikatnya beranggapan bahwa realitas sosial sama dengan organisme biologis. Menurut keyakinan para penganutnya, sebagaimana makhluk hidup bisa lahir tumbuh dan mati, begitu pula realitas sosial bisa muncul, bertumbuh dan bertambah lantas berakhir.

Sementara untuk memberi kesan ilmiah, Prof. Saini mengatakan bahwa "para ilmuwan menyadari bahwa kota adalah suatu organisme", kiranya perlu dan penting dikatakan bahwa terdapat pula para ilmuwan sosial yang menyadari bahwa realitas sosial bukanlah organisme biologis. Apabila orang menganggap realitas sosial sama dengan organisme biologis, berarti dia melupakan aspek kesadaran dan kreativitas dalam kehidupan masyarakat. Sel-sel dalam tubuh bertumbuh dan bertambah sedikit banyak secara alamiah dan hingga batas tertentu dapat dikatakan berlangsung dengan sendirinya. Tidak demikian halnya dengan kehidupan masyarakat sebab selalu ada dimensi kesadaran dan kreativitas manusia yang cenderung dapat menyiasati segala macam tantangan alam.

Bahkan, apa yang kita sebut "kebudayaan" pertama-tama dan terutama justru berkaitan dengan soal kesadaran dan kreativitas manusia dalam hidup bermasyarakat. Oleh karena itu, organisisme dalam filsafat sosial cenderung mengabaikan aspek kreativitas dan kesadaran manusia maka pandangan seperti itu sering berujung dengan gambaran tentang kehidupan masyarakat yang menunjukkan ciri-ciri "Darwinisme sosial".

Itulah sebabnya Prof. Saini secara berlebihan membayangkan situasi bellum omni contra omnes dan homo homini lupus. Ia seakan-akan malah melupakan kemampuan manusia untuk senantiasa menjalin negosiasi, kesepakatan, dan pertukaran pikiran di antara mereka, tak terkecuali dalam mengurus keperluan hidup sehari-hari di sebuah kota -- sesuatu yang sangat penting dalam setiap kebudayaan. Dengan demikian, konsep kabur mengenai "kota mati" kiranya hanya merupakan ekspresi dari kecemasan berlebihan akibat dianutnya praduga yang keliru mengenai realitas sosial.

Meskipun Prof. Saini berbicara seraya mengatasnamakan prinsip-prinsip "humanisme", tetapi konsepsinya yang kabur perihal "kota mati" justru malah menyiratkan semacam fatalisme sekaligus kekerasan filosofis yang cenderung tidak percaya pada niat baik manusia.

Pikiran terbuka

Pada awal tulisannya, Prof. Saini mengatakan bahwa salah satu latar belakang dari gugusan gagasannya perihal "kota mati" dan "kota tertutup" itu adalah pertemuan antara Wali Kota Bandung Dada Rosada dan "sejumlah kalangan" belum lama ini. Adapun di antara tokoh yang menjadi bagian dari "sejumlah kalangan" itu, berdasarkan sebuah berita dalam Pikiran Rakyat, tak lain dan tak bukan adalah Prof. Saini sendiri.

Dengan demikian, ketika gagasan mengenai "kota tertutup" disampaikan di depan Wali Kota Dada, kiranya terdapat tendensi politis di balik gagasannya. Maksudnya, gagasan tersebut disampaikan tentu dengan harapan dapat memengaruhi keputusan politik seorang wali kota yang baru dilantik.

Apabila orang menyadari tendensi seperti itu, kiranya dapat disadari pula signifikansi dari gagasan yang dikemukakan oleh Prof. Saini. Bukan tidak mungkin gagasan perihal "kota tertutup" itu lantas diamini dan diterapkan oleh Sdr. Dada Rosada sehingga memengaruhi kehidupan seluruh warga kota. Padahal seperti yang telah dievaluasi tadi, pokok-pokok pikiran di balik konsep "kota tertutup" itu sendiri mengandung kelemahan-kelemahan yang bersifat mendasar. Bagaimana mungkin suatu kebijakan politik bertopang pada landasan yang goyah.

Bertopang pada landasan yang goyah itu tadi, Prof. Saini mengartikan "kota tertutup" sebagai "kota yang sesuai dengan keterbatasan daya tampung demografis, fisik, sosial, dan ekonomisnya, melakukan berbagai upaya pembatasan, hingga kehidupan warganya dan pendatang akan tetap manusiawi, bermartabat, dan beradab".

Salah satu kata kuncinya adalah "pembatasan". Adapun yang dimaksud dengan "pembatasan", berdasarkan contoh-contoh yang dikemukakannya adalah semacam pintu tertutup bagi arus urbanisasi dan investasi yang dianggap bakal merugikan. Sesuai dengan jalan pikiran yang melandasinya, "pembatasan" seperti itu diyakini sebagai prasyarat bagi terciptanya kualitas hidup warga kota yang "manusiawi, bermartabat, dan beradab" (kata kunci lainnya).

Tentu saja logika seperti ini sesuai dengan rujukan historis-filosofisnya itu tadi, yang meyakini bahwa peradaban bisa diciptakan atau dijamin oleh adanya undang-undang atau aturan. Alasannya, kata Prof. Saini seraya mengutip slogan Yunani Klasik, barbarians know no laws. Terhadap jalan pikiran demikian, dapat kiranya diajukan pertanyaan, siapa yang harus membuat "pembatasan", atau siapa yang harus merumuskan "aturan"? Melalui prosedur politik seperti apa aturan mesti dirumuskan? Kepada siapa pembuat aturan mesti berpihak?

Menurut saya, pertanyaan-pertanyaan seperti itu mesti dijawab terlebih dahulu sebelum memutuskan perlu tidaknya membuat aturan tertentu. Pasalnya, berdasarkan pengalaman selama ini, ancaman terhadap keamanan dan kenyamanan warga kota, tak terkecuali ancaman terhadap alam lingkungannya, justru sering bersumber pada kepentingan segelintir orang yang berkerumun di sekitar pembuat keputusan serta pada proses politik pembuatan keputusan itu sendiri.

Ancaman terhadap ekosistem Babakan Siliwangi yang kebetulan disinggung-singgung oleh Prof. Saini, misalnya, justru merupakan salah satu contoh mutakhir yang memperlihatkan betapa para pembuat keputusan dan segelintir orang di sekelilingnya cenderung hanya memerhatikan kepentingan sempit yang berjangka pendek dan tidak begitu menghiraukan kepentingan sebagian besar orang yang berjangka panjang. Dengan kata lain, aturan atau undang-undang belum tentu menjamin perbaikan hidup manusia selama pembuatan aturan itu cenderung dikuasai oleh segelintir elite dan tanpa melalui prosedur politik yang benar-benar demokratis.

Alih-alih mengamini usulan mengenai "pembatasan" dari Prof. Saini, saya sendiri lebih cenderung mengajukan usul "perluasan" di dalam kerangka pelayanan publik di sebuah kota. Kota yang baik rasa-rasanya bukanlah kota yang lingkungan hidup warganya dibatasi oleh rupa-rupa aturan. Kota yang baik, saya kira, adalah kota yang sebagian besar warganya, baik pribumi maupun pendatang, bisa hidup sedemikian rupa sehingga kehadirannya diakui, kemerdekaan dan keragamannya dihormati, suaranya didengarkan, dan kebutuhannya dipenuhi.

Adapun untuk itu pertama-tama dan terutama diperlukan kesanggupan untuk mengembangkan pikiran yang terbuka terhadap keluasan dimensi hidup manusia. Demikianlah, Kang Saini yang bijak bestari, manusia tidaklah sama dengan monyet-monyet malang yang dihalau oleh polisi dari jalan-jalan raya di New Delhi belakangan ini.***

Penulis Pemimpin Redaksi "Cupumanik"

www.pikiran-rakyat.com